Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

settia

Sebagaimana Perusahaan, Gelar Penulis Juga Dipertimbangkan Media

Sebagaimana Perusahaan, Gelar Penulis Juga Dipertimbangkan Media
Gambar Hanya Sekedar Pemanis Tulisan
Media massa, baik cetak maupun elektronik, sudah pasti berhubungan erat dengan penulis yang mengisi konten-konten halamannya. Penulis di media massa terbagi menjadi dua, penulis kontrak (wartawan) dan penulis lepas (penyair, esais, dsb.). Namun dalam tulisan ini, saya ingin menfokuskan pembicaraan pada Media Cetak (Koran) dan Penulis Lepas. Karena hal ini banyak diperbincangkan para penulis dan penuh dengan intrik-intrik yang kurang akal. 

Beberapa hari yang lalu, seorang teman yang gemar menulis opini di koran mencurahkan kegelisahannya sebagai seorang penulis. Bagaimana tidak, rupanya, Koran lebih melirik gelar Si Penulis dari pada isi tulisannya. Padahal, katanya, tulisan opininya pendek dan biasa saja (minim analisis). Sedangkan teman saya itu seoang mahasiswa, tidak memiliki gelar. Akhirnya dia pura-pura menaruh gelar di bagian bawah tulisannya: Penulis adalah seorang pengamat politik. Dimuat!

Lain halnya dengan penulis opini, penyair memiliki keresahannya sendiri. Beda ketenaran, beda peluang. Konon, teman saya ada yang baru dimuat setelah dia mengirim tulisan keseratus kalinya di sebuah media cetak. Waw! Memang penyair ditakdirkan untuk bersabar, ya! Nah, kalau yang nulis sekelas Afrizal Malna, udah deh. Redakur gak bisa ngapa-ngapain. Muat!

Sementara dalam persoalan dompet (honorarium), semuanya sama saja. Mau penulis opini, esais, penyair dan lain-lain, semua media susah mencairkan duit. Setidaknya ada 2 pengalaman saya soal penagihan honor. 

Pertama, ketika puisi saya dimuat oleh Koran Media Indonesia pada tahun 2016 silam. Waktu itu puisi saya dimuat 2 kali, hari Minggu pertama dan minggu depannya dimuat lagi. Kebetulan saya dimuat bersamaan dengan Selendang Sulaiman dalam satu halaman Media Indonesia. Saya tunggu setelah 2 minggu semenjak pertama kali dimuat, kok honornya belum masuk Rekening? Lalu saya menelpon Selendang Sulaiman untuk bertanya soal honor. Ternyata sama, honor dia juga belum cair. Akhirnya saya minta nomor redaktur Media Indonesia ke Selendang Sulaiman, dan saya sedia pulsa 10.000 rupiah karena nomor telpon rumah. Setelah saya hubungi, redakturnya menyuruh saya untuk menghubungi bagian administrasi keuangan melalui telepon rumah yang diberikan kepada saya. Karena pulsa saya sudah habis, saya membeli pulsa lagi 15.000. Saya pun menghubungi bagian Administrasinya dan disuruh menunggu 3 hari ke depan, baru dicairkan. Sebegitu sulitkah penulis mendapatkan apresiasi?

Kedua, pada awal tahun 2018 lalu, puisi saya dimuat di harian Minggu Pagi, sebuah koran milik KR Group Yogyakarta. Hati saya senang luar biasa, karena puisi saya dimuat lagi. Kemudian saya tunggu selama satu minggu setelahnya untuk pencairan honorarium. Setelah satu  minggu berlalu, saya cek rekening bank, kok belum cair? Akhirnya saya memutuskan untuk datang langsung ke kantor KR Jogja, karena saya kebetulan domisili di Yogyakarta. Nah, di kantornya itu saya baru diberi uang honorarium. Sebegitu mengemiskah seorang penulis?

Terlepas dari semua itu, seorang penulis memang harus berani hidup serba susah. Karena justru dari kesusahan itu dia memiliki inspirasi dan imajinasi untuk menulis. Hanya saja saya pernah mendengar bahwa tokoh besar sebuah bangsa dilahirkan dari budaya membaca dan menulis yang baik, serta apresiasi yang baik pula. Sebut saja Gus Dur, Buya Hamka, Soekarno, Nur Cholis Madjid, dan lain-lain. Lalu, akankah ada apresiasi yang besar terhadap para penulis muda? Atau, adakah penulis muda yang ingin memiliki kesenangan batin dan rela hidup susah?

Wallahu a’lam!!!

Oleh: Ali Munir S.

Posting Komentar untuk "Sebagaimana Perusahaan, Gelar Penulis Juga Dipertimbangkan Media"